"Aina Te'e Dembi": Sindiran Pedas dari Tanah Bima untuk Mengingatkan Hati

Oleh: Suhardin, S.Pd., M.M.
Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki kekayaan kearifan lokal yang terwujud dalam ungkapan-ungkapan khas, seringkali berupa peribahasa atau metafora. Di tengah masyarakat Bima, Nusa Tenggara Barat, terdapat satu ungkapan yang sangat mendalam dan penuh makna: "Aina Te'e Dembi". Secara harfiah, kalimat ini berarti "Jangan mempertahankan pematang sawah." Namun, makna sebenarnya jauh melampaui urusan pertanian. Ungkapan ini adalah sindiran keras yang ditujukan kepada mereka yang bersikeras mempertahankan argumen atau posisi, meskipun mereka sadar bahwa mereka berada di pihak yang salah.
Metafora Pematang Sawah yang Sarat Makna
Untuk memahami kedalaman ungkapan ini, kita perlu membayangkan konteksnya. Pematang sawah, atau dembi, adalah gundukan tanah yang berfungsi sebagai batas antara petak-petak sawah. Pematang ini sangat penting untuk menjaga air agar tidak tumpah dan memastikan setiap petak mendapatkan pasokan yang cukup. Namun, dalam konteks "Aina Te'e Dembi," pematang sawah menjadi simbol dari ego atau keangkuhan.
Ungkapan ini menggambarkan situasi di mana seseorang, layaknya pemilik sawah yang terlalu berpegang teguh pada batas tanahnya, tidak mau mengalah meskipun perdebatan atau perselisihan sudah jelas mengarah pada kerugian bersama. Pematang yang seharusnya menjadi pemisah yang fungsional berubah menjadi simbol ketidakfleksibelan. Orang yang disindir dengan ungkapan ini diibaratkan sedang memperjuangkan sesuatu yang tidak lagi relevan atau bahkan merugikan, sama seperti mempertahankan pematang sawah yang sempit di saat air sudah kering atau masalahnya sudah tidak ada lagi.
Sindiran sebagai Alat Pendidikan Sosial
Masyarakat Bima dikenal memiliki tradisi komunikasi yang jujur dan terus terang. Ungkapan "Aina Te'e Dembi" berfungsi sebagai alat pendidikan sosial yang efektif. Alih-alih langsung menuduh seseorang bersalah, masyarakat Bima menggunakan sindiran ini untuk mengajak orang tersebut merenung. Sindiran ini tidak dimaksudkan untuk mempermalukan, melainkan untuk menyadarkan.
Pesan yang terkandung di dalamnya sangat jelas: sikap keras kepala dan tidak mau mengakui kesalahan hanya akan memperpanjang masalah dan merusak hubungan. Ungkapan ini mengajarkan pentingnya sikap legowo—lapang dada—dan berani mengakui kekhilafan. Dengan mengalah, seseorang tidak hanya menunjukkan kerendahan hati, tetapi juga membuka jalan untuk mencari solusi terbaik yang menguntungkan semua pihak.
Relevansi di Era Modern
Meskipun berasal dari tradisi agraris, "Aina Te'e Dembi" tetap sangat relevan di kehidupan modern, mulai dari lingkungan keluarga, kantor, hingga media sosial. Kita sering kali melihat bagaimana perdebatan memanas dan berlarut-larut hanya karena salah satu pihak tidak mau mengalah, meskipun fakta sudah jelas menunjukkan kesalahan mereka.
Dalam rapat kerja, misalnya, ada kalanya seorang pemimpin tim atau anggota bersikeras pada idenya sendiri, meskipun data dan masukan dari tim lain menunjukkan ide tersebut tidak efektif. Dalam perdebatan di media sosial, kita juga sering menyaksikan bagaimana warganet terus-menerus mempertahankan argumennya, bahkan ketika sudah banyak bukti yang membantah. Di sinilah ungkapan "Aina Te'e Dembi" kembali mengingatkan kita: janganlah terlalu kaku mempertahankan ego, karena kebenaran jauh lebih berharga daripada kemenangan semu dalam sebuah perdebatan.
Ungkapan ini adalah cerminan dari kearifan leluhur Bima yang menekankan harmoni, kerendahan hati, dan pengakuan akan kebenaran. "Aina Te'e Dembi" adalah lebih dari sekadar peribahasa; ia adalah panggilan moral untuk melepaskan ego, melihat gambaran yang lebih besar, dan berani untuk mengakui, "Saya salah." Itulah pemenang sejati dalam setiap perselisihan.