Legenda TEMBA KOLO: Sumur Tujuh Bidadari

Oleh: SUHARDIN DEO
Konon, di sebuah bukit yang megah di Kampung Bonto, Kelurahan Kolo, tersembunyi sebuah sumur tua yang amat sakral. Masyarakat setempat menyebutnya Temba Kolo atau Temba Anafari Pidu, atau Sumur Tujuh Bidadari, karena diyakini menjadi tempat para bidadari dari kayangan turun untuk mandi.
Setiap kali senja menjelang, air sumur akan memancarkan cahaya keemasan dan teduh yang menandakan kedatangan ketujuh bidadari. Mereka turun dari langit, melepaskan selendang-selendang indah mereka, lalu berenang dan tertawa riang di dalam sumur yang jernih.
Pada suatu sore, seorang pemuda bernama La Mbojo, yang dikenal karena kepiawaiannya berburu di hutan, mengintai dari balik semak-semak. Ia terpesona oleh kecantikan salah satu bidadari, yang kulitnya sehalus pualam dan senyumnya semanis madu. Diam-diam, La Mbojo mengambil salah satu selendang yang tergeletak di batu.
Ketika matahari mulai terbenam, keenam bidadari lainnya mengambil selendang mereka dan kembali ke kayangan. Namun, bidadari yang disukai La Mbojo tidak bisa terbang. Ia mencari-cari selendangnya dengan panik, air mata mengalir membasahi pipinya. Ia sedih dan bingung, sendirian di bukit yang sunyi.
La Mbojo, yang merasa bersalah sekaligus gembira, menghampiri sang bidadari. Ia mengajaknya pulang ke rumahnya. Bidadari yang malang itu, dengan hati yang hancur, akhirnya menerima ajakan pemuda itu. Mereka pun menikah dan hidup bersama. Meskipun sang bidadari memiliki segalanya, hatinya selalu merana karena ia tidak bisa kembali ke tempat asalnya.
Beberapa hari kemudian, saat sang bidadari hendak menanak nasi, ia menemukan selendang miliknya tersembunyi di dalam tempat penyimpanan nasi yang disebut roa bongi. Sontak, air mata haru dan rindu membanjiri wajahnya. Ia akhirnya mengerti mengapa ia tidak bisa kembali ke kayangan. Dengan hati yang berat, ia segera mengambil selendangnya, berpamitan kepada suaminya, dan terbang kembali ke kayangan.
La Mbojo, kini ditinggalkan seorang diri, merana dalam kesedihan. Ia menyesal telah berbohong dan tidak jujur kepada istrinya. Ia menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa dibangun di atas kebohongan