Jejak Sori Jo dan Naga Nuri: Awal Mula Islam di Sape Soro

Oleh: Suhardin Deo
Jauh di pesisir utara Teluk Sape, Kabupaten Bima, terukir sebuah legenda yang menjadi tonggak sejarah masuknya Islam di tanah Mbojo. Terlepas dari fakta sejarah bahwa cerita turun temurun dari mulut ke mulut, Diceritakan kembali oleh Almukarram KH Muhammad Saleh Daeng Malewa bin Muhammad Tayeb Daeng Pagilling bin Daeng Mapaccing sekitar tahun 2005 beralamat di Desa Soro Kecamatan Lambu Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat, bahwa kisah ini bukan hanya tentang sebuah tempat, melainkan tentang petunjuk spiritual yang mengarahkan para saudagar Bugis Makassar ke sebuah takdir yang telah digariskan. Legenda ini dikenal sebagai Sori Jo.
Kandasnya Perahu dan Nur (Cahaya Terang) yang Menuntun
Kisah ini berawal dari sekelompok saudagar Bugis Makassar yang tengah berlayar di kegelapan malam, menuju arah selatan. Di tengah perjalanan, perahu mereka kandas di sebuah perairan tak dikenal. Dalam bahasa Bugis, "sore" berarti kandas, dan "jokong" adalah perahu. Dari peristiwa inilah, nama Sori Jo, singkatan dari "Sore Jokong" (perahu kandas), lahir. Di tengah keputusasaan, tiba-tiba muncul sebuah cahaya Nur (cahaya suci) yang sangat terang di hadapan mereka. Mereka berusaha mendekati cahaya itu, namun setiap kali mereka mendekat, cahaya tersebut menjauh. Para saudagar tetap gigih mengejarnya hingga tanpa mereka sadari, perahu mereka telah sampai di daratan. Seseorang di bagian haluan perahu berteriak, "Sampe mi!" yang berarti "sudah sampai". Kata "sampe" ini kemudian diserap oleh lidah orang Soro menjadi "Sape", yang kini menjadi nama sebuah kecamatan di ujung timur Pulau Sumbawa. Peristiwa ini menyadarkan para saudagar bahwa cahaya Nur itu adalah petunjuk dari Allah SWT yang telah mengantarkan mereka ke sebuah hilir sungai, atau dalam bahasa Bima disebut "nanga". Karena peristiwa ini, tempat tersebut dikenal sebagai Nanga Nur (Hilir Cahaya Nur) hingga saat ini.
Desa Soro dan Sori Jo: Simpul Sejarah dan Ketakwaan
Setelah peristiwa tersebut, Sori Jo menjadi tempat permukiman para leluhur Desa Soro, Kecamatan Lambu. Dari sinilah, para saudagar Bugis Makassar mulai menyebarkan agama Islam. Ada dua versi asal-usul nama Desa Soro. Versi pertama, kata Soro berasal dari kata "Surau", tempat salat para saudagar Bugis Makassar saat awal penyebaran Islam. Hal ini menunjukkan bahwa Desa Soro adalah salah satu pusat dakwah Islam pertama di Bima. Versi kedua, kata Soro diartikan sebagai "pucuk daun" yang belum mekar, menggambarkan masyarakatnya yang memiliki akhlak terpuji dan ketakwaan yang tinggi. Makna ini diperkuat oleh fakta sejarah bahwa Desa Soro telah melahirkan banyak ulama karismatik, bahkan bergelar Wali Allah. Salah satunya adalah Syekh Nurul Mubin (Ama Bibu), yang diberi gelar "Karama Mangge" karena makamnya berada di bawah naungan pohon asam (Mangge) yang rindang. Beliau juga dikenal sebagai "Karama Ma Suwu Mudu Makkah" atau Wali Allah yang memadamkan kebakaran di Mekkah dari tanah Bima.
Dengan demikian, Sori Jo bukan sekadar legenda. Ia adalah narasi tentang sebuah perjalanan spiritual, jejak sejarah, dan cerminan dari ketakwaan mendalam yang mengakar kuat di tanah Bima, di mana cahaya Nur tidak hanya menuntun perahu, tetapi juga hati manusia.