Legenda Tragis Pantai Terbelah Lariti: Kisah Ibu dan Anak di Pesisir Soro

OLeh SUHARDIN DEO
Di Desa Soro, Kecamatan Lambu, Kabupaten Bima, terbentang sebuah pantai unik yang membelah lautan saat air surut, dikenal dengan nama Lariti. Di balik keindahan alamnya, tersimpan sebuah legenda pilu tentang seorang janda bernama Lariti dan putera semata wayangnya, La One, yang kisahnya diceritakan turun temurun oleh Ompu Bila.
Kehidupan Sulit di Tolomoti
Dahulu kala, di sebuah dusun bernama Tolomoti di Desa Soro, hiduplah Ibu Lariti dan putera kecilnya, La One. Mereka hidup dalam kesederhanaan, di mana Ibu Lariti setiap pagi harus berjuang mengais pasir di Kali Soro demi mendapatkan kerang sungai (Kajapi) untuk sekadar menyambung hidup. Namun, hasil yang didapat tak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka berdua, terutama seiring bertambahnya usia La One.
Melihat keterbatasan ibunya, La One tumbuh menjadi anak yang minder dan enggan bergaul dengan teman-teman sebayanya. Namun, ia juga tidak ingin terus menerus terkurung dalam gubuk reot mereka. Dalam himpitan ekonomi dan ketidakberdayaan Ibu Lariti memenuhi kebutuhan La One yang semakin meningkat, sebuah peristiwa tragis tak terhindarkan.
Dalam kemarahan dan frustrasi, La One tega mengusir ibunya dari rumah. Kata-kata pedih terlontar dari bibir seorang anak kepada ibunya: "Losa ina, aina dulamu watisipu rakamu piti mamboto" yang artinya: "Keluar ibu, dan jangan kembali ke rumahku sebelum engkau kembali dengan uang yang banyak".
Kaduha Lano: Pengorbanan Sang Ibu di Lautan
Terluka oleh perkataan puteranya, hati Ibu Lariti hancur berkeping-keping. Dalam keputusasaan yang mendalam, ia memilih jalan tragis, yakni "Kaduha Lano" atau menghanyutkan diri ke lautan.
Dengan langkah gontai, Ibu Lariti berjalan menuju ujung timur wilayah Desa Soro dan masuk ke dalam laut. Sambil melangkah semakin dalam, ia melantunkan doa mantera dengan suara lirih: "Duha kaduha ra lano" (segeralah pasang naik air laut). Kemudian dilanjutkannya dengan mantera yang semakin pilu: "kolu ra tatu'u ku, kolu ra lokoku, kolu ra wo'oku, kolu ra tutaku" (Sampailah di atas lututku, sampailah di atas perutku, sampailah di atas leherku). Saat mantera terakhir selesai terucap, air laut yang semula tenang perlahan mulai pasang, hingga mencapai leher Ibu Lariti.
Penyesalan La One dan Lahirnya Lariti
La One, yang awalnya mengira ucapan ibunya hanyalah ancaman belaka, akhirnya tersadar bahwa sang ibu benar-benar telah pergi "kaduha lano". Dipenuhi penyesalan yang mendalam, ia segera menyusul ibunya ke pantai. Namun, penyesalan itu datang terlambat. Sang ibu telah ditelan oleh ombak.
Di bibir pantai, La One menangis sejadi-jadinya. Ia meratap, memohon maaf kepada ibunya, dan berjanji dalam isak tangisnya untuk selalu menaati ibunya dan tidak akan pernah lagi membuatnya marah. Dengan hati yang hancur, La One bersumpah: "Saya tidak akan makan dan minum serta tidak akan kembali ke rumahku sehingga ibuku kembali bersamaku". Selama seminggu lamanya, La One setia menanti kembalinya sang ibu di tepi pantai. Hingga akhirnya, muncul gumpalan pasir yang semakin lama semakin memanjang, membelah lautan. Masyarakat setempat percaya bahwa gumpalan pasir itu adalah jelmaan Ibu Lariti. Sejak saat itulah, tempat tersebut dinamakan Lariti, atau pantai dengan tumpukan pasir yang membelah laut ketika air pasang surut, menjadi pengingat abadi akan kisah tragis seorang ibu dan penyesalan seorang anak.