Kalondo Lopi: Tradisi Gotong Royong Masyarakat Kolo

Oleh: Suhardin,S.Pd.,M.M.

Di ujung utara Kecamatan Asakota, Kota Bima, terhampar sebuah kelurahan yang menyimpan kekayaan tradisi bahari, yaitu Kelurahan Kolo. Salah satu tradisi yang paling memukau dan mencerminkan kearifan lokal masyarakatnya adalah Kalondo Lopi. Tradisi ini bukan sekadar prosesi seremonial, melainkan sebuah manifestasi nyata dari nilai-nilai gotong royong, persatuan, dan kebersamaan yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Prosesi yang Penuh Semangat

Kalondo Lopi merupakan ritual penurunan perahu atau kapal dari galangan tempat pembuatannya menuju ke laut. Prosesnya yang unik dan penuh semangat dimulai dengan persiapan matang. Sebelum perahu disentuh, seorang Panggita Lopi—sejenis ahli rancang bangun dan pawang perahu—bertugas memeriksa kembali seluruh bagian kapal. Peran Panggita Lopi sangat vital, memastikan perahu tersebut layak dan aman untuk mengarungi lautan. Dukungan doa dari beliau menjadi "restu" spiritual yang mengiringi prosesi ini.

Sebelum prosesi utama dimulai, seluruh masyarakat yang terlibat berkumpul dalam suasana penuh kekeluargaan. Mereka dijamu dengan aneka hidangan dan minuman prasmanan layaknya acara kenduri atau pesta pernikahan, mempererat tali silaturahmi dan mempersiapkan diri untuk kerja berat yang akan datang.

Teriakan "Ica, Dua, Runggi... Rabbi!"

Inti dari Kalondo Lopi adalah kekuatan kolektif. Proses penurunan kapal ini dikomandani oleh seorang Nenti Rasa, sesepuh kampung yang berdiri di anjungan perahu. Dengan suara lantang dan penuh semangat, Nenti Rasa meneriakkan yel-yel penyemangat: "Ica, dua, Runggi... Rabbi!"

Yel-yel ini mengandung makna yang mendalam. "Ica" berarti "Satu", "dua" berarti "Dua", "Runggi" berarti "dorong", dan "Rabbi" berarti "tarik". Teriakan ini menjadi aba-aba yang menyatukan gerakan ratusan tangan. Di bagian depan, sebuah perahu lain yang sudah berada di laut bertugas menarik tali yang terhubung ke kapal yang akan diturunkan. Sementara itu, di darat, seluruh masyarakat bahu-membahu menarik dan mendorong kapal dengan sekuat tenaga.

Sinkronisasi antara tarikan di laut dan dorongan di darat menciptakan kekuatan luar biasa yang mampu menggerakkan perahu raksasa. Sungguh menakjubkan melihat bagaimana tradisi ini menyatukan masyarakat dalam satu tujuan. Hanya dalam waktu singkat, antara 5 hingga 10 menit, perahu tersebut sudah berhasil mengapung di lautan. Kecepatan ini membuktikan betapa kuatnya solidaritas yang mereka miliki.

Warisan Gotong Royong yang Tak Lekang oleh Waktu

Tradisi Kalondo Lopi lebih dari sekadar memindahkan perahu. Di dalamnya terkandung pelajaran berharga tentang pentingnya gotong royong. Prosesi ini mengajarkan bahwa pekerjaan seberat apa pun akan terasa ringan jika dilakukan bersama-sama. Semangat ini tidak hanya terwujud saat menurunkan perahu, tetapi juga menjadi pondasi kehidupan sehari-hari masyarakat Kolo.

Kalondo Lopi adalah warisan budaya yang harus terus dijaga. Ia adalah cerminan identitas masyarakat Kolo sebagai komunitas maritim yang tangguh, bersatu, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan. Semoga tradisi ini terus hidup dan menjadi inspirasi bagi generasi mendatang untuk selalu menjaga persatuan dan kekompakan.