Memudarnya Ritual Cepe Iri: Transformasi Budaya dan Spiritualitas Masyarakat Bima

Oleh: Suhardin,S.Pd.,M.M.
Masyarakat Bima, dengan segala kekayaan tradisi dan budayanya, telah melalui perjalanan panjang dalam proses islamisasi. Sejarah mencatat, jejak awal masuknya Islam di wilayah ini tak bisa dilepaskan dari peran leluhur Bugis-Makassar yang berlabuh di Nanga Nur (Naga Nuri), Pantai Sori Jo. Perkembangan ini tidak hanya mengubah sistem kepercayaan, tetapi juga mengikis praktik-praktik ritual yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Salah satu ritual yang kini semakin memudar adalah "Cepe Iri".
Makna dan Praktik Cepe Iri
Secara harfiah, Cepe Iri adalah ritual sesaji yang dipersembahkan oleh keluarga pasien yang baru saja sembuh dari penyakit. Ritual ini dipimpin oleh seorang Sando (dukun) dan diyakini sebagai bentuk ucapan syukur atas kesembuhan anggota keluarga yang sebelumnya diduga mengalami sakit akibat gangguan roh halus, seperti Parafu (roh leluhur) atau Mangge'e (jin kafir) yang bersemayam di tempat-tempat keramat.
Prosesi ini melibatkan berbagai benda ritual yang sarat makna. Beberapa di antaranya adalah:
Karoddo: Tepung beras yang dibentuk bulat seukuran jeruk nipis, berwarna putih dan kuning, sebagai simbol kesucian dan harapan.
Anak Ayam Hidup: Anak ayam yang nantinya dilepaskan di tempat ritual, melambangkan kebebasan dan kehidupan baru.
Bahan Makanan Sirih lengkap dengan rongko ro'o ta'a (Rokok yang terbuat dari tembaku tradisional yang dibungkung dengan daun lontar): Makanan ini digunakan sebagai persembahan untuk parafu atau mangge'e.
Benda-benda ini kemudian dibawa ke tempat yang dianggap angker. Sando akan membacakan mantera di atasnya sebelum meletakkannya sebagai persembahan. Setelah ritual sesaji, acara dilanjutkan dengan makan bersama, yang hidangannya berupa ayam panggang dan Menggemada kahuntu kalo. Makanan ini adalah hidangan khas Bima yang terbuat dari irisan jantung pisang yang direbus, dibumbui dengan rempah-rempah, asam jawa, suwiran daging ayam, dan gami (kelapa sangrai).
Islamisasi dan Pergeseran Kepercayaan
Seiring berjalannya waktu, syiar Islam semakin kuat dan meresap ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Bima. Ajaran tauhid yang dibawa oleh para ulama dan leluhur Bugis-Makassar mengajarkan bahwa segala bentuk permohonan dan persembahan hanya boleh ditujukan kepada Allah SWT. Keyakinan ini bertentangan dengan praktik Cepe Iri yang mempersembahkan sesaji kepada makhluk halus.
Pemahaman keislaman yang semakin mendalam membuat masyarakat Bima secara bertahap meninggalkan kepercayaan animisme dan dinamisme. Mereka menyadari bahwa kesembuhan bukan datang dari kekuatan Parafu atau Mangge'e, melainkan dari kehendak Allah SWT, dan ikhtiar melalui pengobatan medis dan doa. Peran Sando dalam ritual ini pun mulai tergantikan oleh peran tokoh agama, seperti ustad dan ulama, yang memberikan bimbingan spiritual sesuai syariat Islam.
Warisan Sejarah
Meskipun semakin memudar, Cepe Iri tetap menjadi bagian dari sejarah perkembangan Islam di Bima. Keberadaan ritual ini menjadi bukti bagaimana Islam secara perlahan namun pasti telah mengakar kuat dan mengubah pola pikir masyarakat. Dari keyakinan yang bercampur aduk dengan animisme, kini masyarakat Bima semakin memurnikan akidahnya sesuai dengan ajaran tauhid. Ritual-ritual seperti Cepe Iri menjadi catatan penting bahwa peradaban Islam di Bima tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan melalui proses akulturasi dan transformasi yang panjang.
Ini adalah gambaran nyata dari perjuangan leluhur kita dalam menempatkan ajaran Islam sebagai pilar utama dalam kehidupan beragama dan sosial. Sebuah kisah tentang bagaimana iman mengalahkan takhayul, dan bagaimana keyakinan akan Tuhan Yang Maha Esa menggeser persembahan kepada roh halus.
Untuk informasi lebih lanjut tentang jejak Islam di Bima, Anda dapat mengunjungi tautan berikut: