Antara Ujian Nasional dan Krisis Kepercayaan kepada Sekolah

Oleh: Suhardin, S.Pd., M.M.

Wacana untuk mengembalikan Ujian Nasional (UN) ke dalam sistem pendidikan kembali mencuat. Rencana ini, bagi sebagian pihak, dianggap sebagai solusi untuk mengukur mutu pendidikan secara merata. Namun, jika kita melihat lebih dalam, UN, terutama yang pernah diterapkan dengan pengamanan ketat layaknya barang berharga, justru menggambarkan sebuah ironi: krisis kepercayaan pemerintah terhadap institusi pendidikan itu sendiri.

Mari kita kilas balik pengalaman pelaksanaan UN di masa lalu. Naskah soal harus disimpan di kantor polisi, didistribusikan dengan pengawalan aparat, dan pengawas ujian ditempatkan secara silang untuk meminimalisasi kecurangan. Bahkan, di beberapa kasus ekstrem, seorang siswa yang hendak keluar kelas untuk buang air kecil pun harus diawasi ketat. Pertanyaannya, apakah ujian nasional dengan prosedur seperti ini yang hendak diterapkan kembali?

Implikasi Pengamanan Berlebihan

Pendekatan yang terlalu represif dalam pelaksanaan UN mengirimkan pesan yang sangat jelas, namun keliru, kepada publik:


1. Guru dan Sekolah Dianggap Berpotensi Curang: Pengamanan yang ketat dan sistem pengawasan silang seolah-olah mengasumsikan bahwa guru dan pihak sekolah adalah subjek yang tidak bisa dipercaya untuk menjaga integritas ujian. Ini adalah bentuk pelecehan terhadap profesionalisme guru yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam penanaman nilai-nilai kejujuran.

 2. Siswa Ditempatkan dalam Situasi Penuh Tekanan: Suasana ujian yang diselimuti ketakutan dan kecurigaan akan merusak psikologi siswa. Mereka tidak hanya dituntut untuk menjawab soal dengan benar, tetapi juga harus menghadapi tekanan mental yang besar dari pengawasan yang berlebihan. Hal ini berpotensi menyebabkan stres, kecemasan, dan bahkan trauma yang berkepanjangan.

 3. Fokus Pendidikan Bergeser: UN yang dijadikan tolok ukur utama keberhasilan membuat sekolah dan guru berorientasi pada pencapaian nilai semata. Kurikulum dijalankan untuk memenuhi standar ujian, bukan untuk membentuk karakter, kreativitas, atau kemampuan berpikir kritis siswa. Proses pendidikan yang seharusnya holistik menjadi tereduksi hanya pada target angka.

Membangun Kepercayaan, Bukan Kecurigaan

Pendidikan sejatinya adalah fondasi untuk membangun peradaban, yang didasari oleh etika dan kepercayaan. Mengembalikan UN dengan cara-cara lama sama saja dengan mengabaikan reformasi pendidikan yang telah dirintis. Alih-alih menerapkan sistem ujian yang penuh kecurigaan, pemerintah seharusnya fokus pada upaya untuk meningkatkan kualitas guru, memperbaiki kurikulum, dan memberi otonomi lebih besar kepada sekolah untuk mengembangkan potensi siswanya.

Jika pemerintah benar-benar ingin mengukur mutu pendidikan, ada banyak cara yang lebih humanis dan holistik, seperti asesmen berbasis kompetensi yang berkesinambungan dan penilaian yang mencakup berbagai aspek perkembangan siswa.

Jangan sampai niat baik untuk meningkatkan mutu pendidikan justru merusak fondasi kepercayaan yang sudah rapuh antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang dibangun di atas dasar kepercayaan, bukan ketakutan dan kecurigaan.

Suhardin, S.Pd., M.M.

Kepala SMPN 10 Kota Bima