Krisis Literasi dan Numerasi Mengancam Generasi Muda

KOTA BIMA - Viral di media Sosial video ibu Shirat yang mengungkapkan kekhawatiran yang mendalam mengenai kemampuan dasar literasi dan numerasi anak-anak zaman sekarang. Keluhan ini muncul seiring dengan banyaknya temuan bahwa banyak siswa, bahkan hingga jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), masih kesulitan dalam membaca, menulis, dan berhitung dasar. Fenomena ini sangat kontras dengan situasi di era 1970-an hingga 1990-an, di mana kemampuan membaca, menulis, dan berhitung (calistung) merupakan syarat mutlak untuk naik kelas.
Akar Masalah: Mengapa Fenomena Ini Terjadi?
Menanggapi video yang viral tersebut, Bapak Suhardin, S.Pd., M.M., Kepala SMP Negeri 10 Kota Bima, mengidentifikasi beberapa faktor utama yang menjadi akar masalah krisis literasi dan numerasi saat ini:
1. Pergeseran Kurikulum dan Metode Pembelajaran: Dulu, pembelajaran dasar calistung ditekankan secara intensif dan berulang. Saat ini, kurikulum cenderung lebih berorientasi pada kompetensi dan proyek, sehingga fokus pada dasar-dasar ini berkurang.
2. Ketergantungan pada Teknologi: Anak-anak modern lebih banyak menghabiskan waktu dengan gawai dan konten digital yang instan. Hal ini mengurangi minat mereka pada kegiatan membaca buku atau berlatih berhitung secara manual.
3. Peran Orang Tua yang Berkurang: Kesibukan orang tua sering kali mengurangi waktu untuk mendampingi anak belajar di rumah, sehingga pembelajaran hanya mengandalkan sekolah.
Sebagai acuan analisis kita, Pendapat Para Ahli ini dapat menjadi Solusi dan Harapan bersama
Para ahli pendidikan sepakat bahwa krisis ini membutuhkan penanganan holistik.
1. Dr. Rendra Kusuma, M.Ed., seorang pakar pendidikan anak, menekankan pentingnya penguatan kembali pondasi calistung sejak usia dini, khususnya di jenjang PAUD dan SD. "Kemampuan calistung adalah kunci. Tanpa pondasi yang kuat, anak akan kesulitan memahami materi pelajaran lain di tingkat yang lebih tinggi," ujarnya.
2. Prof. Dr. Diah Puspitasari, pakar psikologi pendidikan, menambahkan bahwa kolaborasi antara sekolah, orang tua, dan lingkungan sangat krusial. "Orang tua harus menjadi mitra guru dalam memantau perkembangan belajar anak. Waktu berkualitas yang dihabiskan untuk membaca buku bersama atau bermain permainan edukatif akan sangat membantu," jelasnya.
3. Dr. Agus Suhartono, ahli teknologi pendidikan, menyarankan pemanfaatan teknologi secara bijak. "Gawai dapat menjadi alat bantu, bukan pengganti. Ada banyak aplikasi edukasi yang interaktif dan menyenangkan untuk melatih kemampuan literasi dan numerasi," katanya.
Berdasarkan ketiga pendapat di atas, jelas bahwa krisis literasi dan numerasi adalah masalah bersama yang memerlukan sinergi dari berbagai pihak. Penguatan kembali kurikulum dasar, peningkatan peran orang tua, dan pemanfaatan teknologi secara cerdas adalah langkah-langkah yang harus segera diambil untuk menjamin masa depan generasi muda yang lebih cerah.