Memahami Filosofi NGGAMPO dalam Pembelajaran Pendidikan Pancasila

Oleh: Suhardin,S.Pd.,M.M. (Kepala SMP Negeri 10 Kota Bima)

Filosofi "Nggampo" dari Bima, Nusa Tenggara Barat, menawarkan perspektif unik dan mendalam tentang persatuan dalam keragaman. Berasal dari bahasa daerah Bima yang berarti himpunan atau kesatuan, "Nggampo" bukan sekadar istilah, melainkan sebuah cara pandang yang mencerminkan tradisi dan nilai luhur masyarakat Bima. Konsep ini sangat relevan jika diterapkan dalam konteks pembelajaran Pendidikan Pancasila di Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Secara harfiah, "nggampo" adalah unit takaran tradisional yang biasa digunakan untuk komoditas pertanian seperti bawang merah, bawang putih, atau jagung. Satu nggampo terdiri dari empat ikatan kecil yang disebut "To'do". Setiap "To'do" kemudian terdiri dari beberapa "pode" atau "pose", dan setiap "pode" berisi beberapa butir bawang seukuran genggaman tangan pada daunnya. Untuk jagung, satu "pose" adalah segenggam kulit kupasan buah jagung.

Gambaran ini melukiskan sebuah hierarki yang indah: dari butir-butir kecil yang berbeda, mereka berkumpul menjadi "pode", lalu "to'do", hingga akhirnya menjadi satu "nggampo" yang utuh. Filosofi ini mengajarkan bahwa hal-hal kecil, meskipun berbeda, dapat bersatu dan membentuk sebuah kesatuan yang kokoh dan bernilai.

Filosofi "Nggampo" dan Nilai Pancasila

Filosofi "Nggampo" sangat sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, khususnya pada sila Ketiga: Persatuan Indonesia. Masyarakat Bima secara alami telah mengamalkan prinsip ini selama turun-temurun. Konsep ini mengajarkan bahwa meskipun individu memiliki latar belakang, suku, agama, atau pandangan yang berbeda (seperti biji-biji bawang yang terpisah), mereka dapat bersatu dalam ikatan keluarga dan komunitas untuk mencapai tujuan bersama.

Dalam Pembelajaran Pendidikan Pancasila, guru dapat menggunakan analogi "Nggampo" untuk menjelaskan betapa pentingnya menghargai perbedaan. Alih-alih melihat perbedaan sebagai pemecah, "Nggampo" mengajarkan kita untuk melihatnya sebagai kekuatan yang memperkaya. Sebuah bangsa tidak akan utuh tanpa keragaman suku, budaya, dan agama yang menjadi bagian dari identitasnya. Sama seperti satu "nggampo" bawang yang tidak akan lengkap tanpa setiap "pode" dan "to'do"-nya.

Di Mana Bumi Dipijak, di Situ Langit Dijunjung

Prinsip ini juga diperkuat oleh fakta bahwa suku Bima tersebar di seluruh Indonesia dan membentuk komunitas-komunitas yang kuat dengan prinsip "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung". Ungkapan ini menunjukkan sikap adaptif dan saling menghargai. Masyarakat Bima dapat berbaur dengan budaya setempat sambil tetap menjaga identitas dan nilai-nilai luhur mereka, seperti semangat kekeluargaan dan persatuan. Hal ini menunjukkan bahwa persatuan tidak berarti penyeragaman, melainkan kemampuan untuk hidup berdampingan secara harmonis dengan menghormati tradisi dan aturan yang ada.

Dengan demikian, "Nggampo" adalah lebih dari sekadar istilah tradisional; ini adalah cerminan dari jiwa masyarakat Bima yang cinta kekeluargaan dan persatuan. Menerapkan filosofi ini dalam pembelajaran Pancasila di SMP dapat membantu siswa memahami konsep abstrak seperti persatuan dan keragaman dengan cara yang lebih konkret dan mudah dicerna.