Mengupas Filosofi "To'do Una": Antara Upah Jerih Payah dan Oportunisme Terselubung

Oleh: Suhardin, S.Pd., M.M.

Dalam khazanah bahasa Bima, Nusa Tenggara Barat, tersimpan kekayaan makna yang tak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, namun juga merefleksikan nilai-nilai budaya dan cara pandang masyarakatnya. Salah satu istilah menarik yang sarat akan interpretasi adalah "To'do Una".

Secara harfiah, mari kita bedah kata per kata. "To'do" dalam bahasa Bima berarti melobangi atau mengikat malai padi yang sudah dipotong menggunakan anai (sejenis tali dari serat). Proses "to'do" ini merupakan bagian penting dalam panen padi tradisional, di mana malai-malai padi diikat menjadi satu untuk memudahkan pengangkutan. Sementara itu, "Una" memiliki makna upah atau premi yang didapatkan sebagai hasil dari jerih payah atau pekerjaan yang telah diselesaikan. Dalam konteks ini, "una" adalah ganjaran atas kerja keras para petani saat panen.

Dengan demikian, secara literal, "To'do Una" bisa diartikan sebagai "mengikat upah" atau "meraih upah melalui kerja keras". Ia menggambarkan sebuah proses yang membutuhkan ketelitian dan usaha untuk mengumpulkan hasil panen sebagai imbalan atas apa yang telah dicurahkan. Filosofi awal dari istilah ini tentu saja mengandung nilai-nilai positif tentang kerja keras, tanggung jawab, dan penghargaan terhadap hasil usaha.

Namun, menariknya, dalam perkembangan penggunaannya di masyarakat Bima, istilah "To'do Una" mengalami pergeseran makna, terutama dalam konteks informal dan percakapan sehari-hari. Ia lebih cenderung dimaknai sebagai ungkapan untuk menggambarkan tindakan mencari kesempatan dalam kesempitan yang sudah ada, seringkali dengan cara yang kurang etis atau sportif.

Contoh paling jelas yang diangkat adalah dalam konteks permainan sepak bola, terutama pada menit-menit terakhir pertandingan. Ketika tensi pertandingan meningkat dan peluang semakin menipis, seorang pemain yang melakukan "To'do Una" diartikan sebagai pemain yang bermain kasar atau melakukan pelanggaran yang berpotensi mencederai lawan, dengan harapan mendapatkan keuntungan seperti tendangan bebas di posisi strategis atau bahkan membuat pemain lawan tidak dapat melanjutkan pertandingan. Dalam situasi seperti ini, "una" yang dicari bukanlah lagi upah atas permainan yang fair, melainkan keuntungan sesaat yang diperoleh melalui tindakan yang meragukan.

Pergeseran makna ini menarik untuk dicermati. Ia seolah menggambarkan sebuah ironi, di mana sebuah istilah yang awalnya melambangkan kerja keras dan imbalan yang pantas, justru digunakan untuk menjustifikasi tindakan oportunistik yang bahkan bisa merugikan orang lain. "To'do Una" dalam konteks negatif ini mencerminkan sebuah mentalitas yang ingin meraih keuntungan dengan cara pintas, memanfaatkan situasi genting, atau bahkan mengeksploitasi kelemahan lawan.

Tentu saja, interpretasi "To'do Una" sebagai tindakan oportunistik ini tidaklah selalu berkonotasi negatif sepenuhnya. Dalam beberapa situasi, "mencari kesempatan dalam kesempitan" bisa juga diartikan sebagai kecekatan dalam melihat peluang yang ada dan memanfaatkannya secara strategis. Namun, batasan etika menjadi sangat penting di sini. Kapan sebuah tindakan "To'do Una" dapat dibenarkan sebagai strategi cerdik, dan kapan ia berubah menjadi tindakan curang atau merugikan?

Diskursus mengenai makna "To'do Una" ini menjadi penting untuk memahami dinamika sosial dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat Bima. Ia mengajarkan kita untuk tidak hanya terpaku pada makna literal sebuah kata, namun juga memahami konteks sosial dan budaya di mana kata tersebut digunakan. Selain itu, "To'do Una" juga menjadi pengingat akan pentingnya menjaga integritas dan etika, bahkan ketika dihadapkan pada kesempatan untuk meraih keuntungan.


Sebagai warisan linguistik dan budaya, "To'do Una" menyimpan pelajaran berharga tentang kerja keras, peluang, dan batasan-batasan moral dalam meraih sebuah tujuan. Pemahaman yang mendalam terhadap istilah ini akan memperkaya apresiasi kita terhadap kearifan lokal masyarakat Bima.