Tradisi DOA DANA: Ritual Suku Bima untuk Keberkahan Dana Mbojo

Oleh: Suhardin, S.Pd., M.M.

Suku Bima, yang mendiami ujung timur Pulau Sumbawa, memiliki kekayaan budaya yang erat kaitannya dengan spiritualitas dan penghormatan terhadap alam. Salah satu tradisi yang masih dijaga adalah "Doa Dana". Tradisi ini bukan sekadar ritual biasa, melainkan sebuah manifestasi mendalam dari kearifan lokal yang mengajarkan pentingnya harmoni antara manusia dan lingkungannya.

Makna dan Tujuan "Doa Dana"

Secara etimologi, "Doa Dana" berasal dari dua kata Bahasa Bima: doa yang berarti permohonan atau doa kepada Sang Pencipta, dan dana yang berarti tanah atau kampung. Maka, secara harfiah, Doa Dana dapat dimaknai sebagai doa yang dipersembahkan untuk tanah atau kampung. Tradisi ini pada dasarnya merupakan doa tolak balak, sebuah permohonan agar tanah dan seluruh lingkungan terhindar dari berbagai bencana, musibah, dan wabah penyakit. Doa ini adalah wujud keyakinan masyarakat Bima bahwa keselamatan dan kesejahteraan mereka sangat bergantung pada kesucian dan keberkahan bumi yang mereka pijak.

Pelaksanaan Ritual

Pelaksanaan Doa Dana dilakukan di tanah lapang, biasanya di ujung perkampungan yang dianggap sakral. Lokasi ini dipilih sebagai simbol batas antara permukiman manusia dan alam di sekitarnya. Upacara ini dipimpin oleh seorang tokoh agama yang dihormati, yaitu imam kampung yang dikenal dengan sebutan "Lebe" atau seorang guru Bilal.

Prosesi dimulai dengan pembacaan doa-doa dan puji-pujian kepada Tuhan, memohon perlindungan dari segala mara bahaya. Suasana khidmat menyelimuti seluruh peserta yang hadir, mencerminkan ketulusan hati dan harapan mereka akan keselamatan.

Setelah doa selesai dipanjatkan, ritual dilanjutkan dengan tradisi makan bersama. Hidangan yang disajikan bukanlah makanan biasa, melainkan sajian khas yang memiliki makna simbolis, seperti:

 1. Karabba Fare

Karabba Fare, atau beras yang disangrai hingga mengembang seperti popcorn, bukan hanya sekadar makanan ringan dalam tradisi suku Bima. Di balik tekstur renyah dan rasanya yang gurih, ada makna mendalam yang dipegang erat oleh masyarakat setempat.

Secara filosofis, Karabba Fare melambangkan transformasi dan keberkahan. Proses penyangraian mengubah butiran padi yang keras menjadi hidangan yang mekar dan ringan. Ini menjadi simbol dari perubahan positif dan pertumbuhan. Masyarakat Bima melihatnya sebagai harapan agar kehidupan mereka juga bisa berkembang menjadi lebih baik, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang berharga dan bermanfaat.

Selain itu, Karabba Fare juga melambangkan kemakmuran dan kesyukuran. Beras adalah sumber kehidupan utama bagi masyarakat agraris. Ketika diolah menjadi Karabba Fare, ia menjadi persembahan yang disajikan dalam upacara-upacara adat, seperti Doa Dana. Kehadirannya dalam ritual ini menunjukkan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah dan harapan agar rezeki terus mengalir.

Singkatnya, Karabba Fare adalah simbol harapan akan keberkahan, kemakmuran, dan transformasi positif dalam hidup, yang diwujudkan melalui butiran padi sederhana yang diolah dengan penuh makna.

 2. Oha Santa

Oha Santa, atau tumpeng khas Bima, memiliki makna yang sangat mendalam dan berbeda dari tumpeng pada umumnya. Oha Santa bukan sekadar nasi tumpeng biasa, melainkan perwujudan simbolik dari doa, harapan, dan kearifan lokal.

Makna Simbolis Oha Santa (Tumpeng Bima)

 * Lambang Keseimbangan Hidup:

   Bentuk tumpeng yang kerucut melambangkan keseimbangan antara alam atas dan alam bawah. Puncak tumpeng yang mengarah ke atas adalah simbol permohonan kepada Tuhan, sementara dasar yang kokoh melambangkan hubungan yang kuat dengan bumi dan sesama. Oha Santa mengajarkan bahwa hidup harus seimbang antara hubungan vertikal (dengan Tuhan) dan hubungan horizontal (dengan manusia dan alam).

 * Persembahan Syukur dan Permohonan Berkah:

   Oha Santa selalu disajikan dalam ritual adat dan keagamaan sebagai wujud rasa syukur atas rezeki, kesehatan, atau keberhasilan yang telah diberikan. Selain itu, tumpeng ini juga menjadi sarana untuk memanjatkan doa dan permohonan berkah agar masa depan dipenuhi dengan kebaikan dan keselamatan.

 * Simbol Kesatuan dan Kebersamaan:

   Tumpeng ini dimakan bersama-sama, melambangkan kesatuan dan solidaritas masyarakat. Berbagi Oha Santa adalah ritual yang mempererat tali persaudaraan dan menghapus perbedaan. Momen ini menjadi pengingat bahwa kebersamaan adalah kunci untuk menghadapi segala tantangan.

 * Tolak Bala dan Perlindungan:

   Dalam konteks upacara seperti Doa Dana, Oha Santa dipercaya memiliki kekuatan spiritual untuk menolak bala dan melindungi kampung dari bencana, penyakit, atau hal-hal buruk lainnya. Setiap butir nasi dan lauk pauk di dalamnya mengandung doa agar lingkungan senantiasa aman dan sejahtera.

Dengan demikian, Oha Santa adalah representasi visual dari nilai-nilai luhur masyarakat Bima. Ia bukan hanya hidangan, tetapi juga sarana spiritual dan sosial yang merefleksikan keyakinan, harapan, dan kebersamaan dalam menghadapi takdir.

3. Pangaha Bunga

Pangaha Bunga, atau kue kembang, adalah salah satu kue tradisional khas Bima yang memiliki makna mendalam, terutama dalam ritual adat dan keagamaan. Kue putih yang berbentuk seperti cincin-cincin yang saling terkait ini bukan sekadar camilan, melainkan simbol dari nilai-nilai luhur masyarakat.

Makna Simbolis Pangaha Bunga

 * Ikatan dan Persaudaraan:

   Bentuknya yang melingkar dan saling menyambung melambangkan ikatan persaudaraan dan persatuan yang erat. Kue ini menjadi harapan agar hubungan antar anggota keluarga dan masyarakat tetap terjalin kuat, harmonis, dan tidak mudah terputus.

 * Kesucian dan Kemurnian:

   Warna putih pada kue Pangaha Bunga melambangkan kesucian, kemurnian hati, dan ketulusan. Kue ini sering disajikan dalam acara-acara sakral sebagai wujud persembahan yang bersih dan tulus kepada Sang Pencipta.

 * Harapan dan Kebahagiaan:

   Nama "Bunga" dalam Bahasa Bima tidak hanya berarti bunga, tetapi juga melambangkan keindahan dan kebahagiaan. Menyajikan kue ini adalah wujud dari harapan agar kehidupan masyarakat selalu dipenuhi dengan keindahan dan kebahagiaan yang terus mekar, seperti bunga.

 * Tolak Bala dan Perlindungan:

   Dalam upacara seperti Doa Dana, kue Pangaha Bunga juga memiliki makna spiritual sebagai simbol perlindungan. Kehadirannya dipercaya dapat membantu menolak bala dan membawa keberkahan bagi kampung.

Dengan demikian, Pangaha Bunga adalah representasi visual dari nilai-nilai sosial dan spiritual masyarakat Bima. Ia adalah simbol yang kaya akan makna persatuan, kesucian, dan harapan akan masa depan yang indah.

 4. Kareddo (Bubur beras)

Bubur beras memiliki makna yang sangat dalam, terutama dalam konteks budaya dan ritual di banyak masyarakat Asia, termasuk suku Bima. Bubur beras bukan sekadar hidangan, tetapi juga simbol dari beberapa hal penting:

Makna Simbolis Bubur Beras

 * Kesederhanaan dan Kerendahan Hati:

   * Bubur beras adalah makanan yang terbuat dari bahan dasar yang paling sederhana: beras dan air. Dalam banyak tradisi, bubur melambangkan kesederhanaan dan kerendahan hati. Menyajikan bubur mengajarkan untuk tidak melupakan asal-usul, serta menghargai hal-hal yang paling mendasar dalam hidup.

 * Kebersamaan dan Persaudaraan:

   * Bubur sering disajikan dalam porsi besar dan dimakan bersama-sama dari satu wadah atau disajikan untuk banyak orang. Hal ini melambangkan kebersamaan, persaudaraan, dan gotong royong. Di Bima, makan bubur bersama setelah ritual seperti Doa Dana mempererat tali silaturahmi dan menunjukkan bahwa mereka semua adalah bagian dari satu kesatuan.

 * Harapan Akan Kemakmuran:

   * Bubur beras dibuat dari beras, yang merupakan simbol dari kemakmuran dan sumber kehidupan. Dalam ritual, bubur disajikan sebagai permohonan agar kehidupan masyarakat selalu makmur, berkecukupan, dan terhindar dari kelaparan.

 * Perlindungan dan Tolak Bala:

   * Dalam beberapa ritual, bubur juga memiliki fungsi sebagai persembahan untuk menolak bala atau memohon perlindungan. Bubur dianggap sebagai media untuk memurnikan diri dan lingkungan, serta memohon agar segala musibah dapat dihindari.

Dengan demikian, bubur beras dalam tradisi bukan hanya sekadar makanan pengisi perut. Ia adalah simbol yang kaya akan nilai-nilai luhur tentang kesederhanaan, persaudaraan, dan harapan akan masa depan yang lebih baik.

5. Kadodo (Dodol Hitam)

Dodol hitam memiliki makna yang dalam dalam konteks adat dan budaya, terutama di Indonesia. Lebih dari sekadar camilan manis, dodol hitam sering kali melambangkan beberapa hal, seperti:

Makna Simbolis Dodol Hitam

 * Perekat dan Persatuan:

   * Tekstur dodol yang lengket dan kenyal sering kali diartikan sebagai simbol persatuan dan keharmonisan. Dalam acara-acara adat, keberadaan dodol melambangkan harapan agar hubungan antar anggota keluarga atau masyarakat tetap erat, lengket, dan tidak mudah terputus.

 * Ketekunan dan Kesabaran:

   * Proses pembuatan dodol sangat panjang dan memerlukan kesabaran ekstra. Adonan harus terus diaduk selama berjam-jam tanpa henti hingga mencapai tekstur yang sempurna. Proses ini mengajarkan tentang ketekunan, kerja keras, dan kesabaran dalam mencapai tujuan.

 * Duka dan Kesedihan:

   * Dalam beberapa tradisi, khususnya pada ritual pemakaman atau acara berkabung, warna hitam pada dodol juga melambangkan duka cita atau kesedihan. Dodol hitam sering disajikan sebagai wujud empati dan penghormatan kepada keluarga yang ditinggalkan.

 * Doa dan Harapan Baik:

   * Dodol hitam sering kali disajikan dalam acara-acara sakral, seperti selamatan, hajatan, atau upacara adat. Kehadirannya mengandung doa dan harapan agar segala sesuatu berjalan dengan baik, lancar, dan penuh keberkahan.

Dengan demikian, dodol hitam bukan hanya makanan, tetapi juga sarana komunikasi budaya yang kaya akan nilai filosofis dan makna simbolis, mengajarkan tentang pentingnya kebersamaan, ketekunan, dan penghormatan terhadap tradisi.

6. Kawore/Koca/Klepon

Secara umum, kue klapon—yang sering juga dikenal sebagai klepon di beberapa daerah—memiliki makna simbolis yang kaya, terutama dalam tradisi Jawa dan Bali, yang kemudian menyebar ke berbagai wilayah lain, termasuk Bima. Makna ini biasanya terkait dengan bentuk, warna, dan cara pembuatannya.

Makna Simbolis Kue Klapon

1. Sederhana, tetapi Penuh Makna

 * Bentuknya yang bulat kecil melambangkan kesederhanaan dan kemurnian. Kue ini mengingatkan kita bahwa kebahagiaan dan keberkahan bisa datang dari hal-hal yang sederhana.

2. Harapan Akan Keberuntungan

 * Warna hijau cerah dari daun suji atau pandan melambangkan kesegaran, pertumbuhan, dan harapan baru. Ini juga dikaitkan dengan alam dan kemakmuran. Butiran kelapa parut yang membalutnya melambangkan kemakmuran dan rejeki yang melimpah.

3. Kejutan dan Kegembiraan

 * Bagian paling khas dari kue klapon adalah sensasi saat memakannya. Ketika digigit, gula merah cair di dalamnya akan pecah dan lumer di mulut. Sensasi "kejutan" ini melambangkan kegembiraan dan manisnya hidup yang tidak terduga.

Dalam konteks acara adat seperti Doa Dana di Bima, kue klapon disajikan sebagai simbol harapan agar kehidupan masyarakat selalu dipenuhi dengan keberuntungan, kemakmuran, dan kebahagiaan yang manis, terlepas dari segala tantangan.

Tradisi makan bersama ini menjadi momen penting untuk mempererat tali silaturahmi, menghilangkan perbedaan status sosial, dan menguatkan rasa kebersamaan di antara warga.

Nilai-Nilai dalam "Doa Dana"

Lebih dari sekadar ritual, Doa Dana menyimpan nilai-nilai luhur yang relevan hingga saat ini. Tradisi ini mengajarkan kita tentang:

 * Ketergantungan pada Tuhan: Mengingatkan bahwa segala sesuatu datang dari Sang Pencipta dan hanya kepada-Nya kita memohon pertolongan.

 * Penghormatan terhadap Alam: Menumbuhkan kesadaran bahwa manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan merawat lingkungan.

 * Kebersamaan dan Persatuan: Memperkuat ikatan sosial dan rasa gotong royong di tengah masyarakat.

 * Rasa Syukur: Mengajak masyarakat untuk senantiasa bersyukur atas anugerah yang diberikan oleh alam.

Dengan demikian, "Doa Dana" bukan sekadar warisan masa lalu. Ia adalah sebuah petunjuk hidup yang mengarahkan masyarakat Bima untuk hidup dalam harmoni, penuh rasa syukur, dan saling menjaga satu sama

lain serta lingkungan di sekitarnya. Tradisi ini menjadi pengingat yang kuat bahwa spiritualitas, budaya, dan alam adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.